Dari artikel ini semoga kamu mampu mempraktekkannya
Rizki Adiyasa (17), siswa kelas XII SMA Infokom Bogor, mendapat uang saku dari orangtuanya sebesar Rp 20.000 per hari. Uang itu dia gunakan untuk dua kali naik angkutan umum dari rumah ke sekolah pergi-pulang Rp 8.000, juga untuk makan siang Rp 12.000.
”Kadang saya bawa bekal dari rumah, jadi enggak perlu jajan. Uangnya bisa ditabung,” kata Rizki.
Dias Aisyah Putri (15), siswi kelas XI SMA Al Azhar Bumi Serpong Damai, Tangerang, mendapat uang saku lebih banyak, Rp 25.000 per hari. Uang sakunya nyaris utuh karena dia tidak menumpang angkutan umum saat ke sekolah, melainkan diantar. Begitu juga saat istirahat, dia jajan kadang-kadang saja karena Dias lebih sering membawa bekal dari rumah.
”Uang saku aku tabung, tapi bakal abis kalo hari Sabtu-Minggu. Soalnya aku selalu jalan-jalan ke mal sama teman-temanku. Uang itu, ya, buat aku belanja, buat makan, beli pulsa telepon, nonton film. Susah banget kalo mau nabung,” kata Dias.
Fina Mutiasari (15), Twena Dara Fizella (16), dan Nita Nabilla (15) adalah siswi SMA Muhammadiyah 3 Jakarta Selatan. Fina mendapat uang saku sebesar Rp 20.000 per hari, Twena mendapat uang saku bulanan Rp 250.000-Rp 300.000 yang diberikan orangtuanya di awal bulan, sedangkan Nita mendapat uang saku mingguan sebesar Rp 80.000.
Fina enggak perlu mengeluarkan biaya transpor ke sekolah karena dia ikut kendaraan antar-jemput, sedangkan Twena diantar ibunya ke sekolah dan pulang dengan temannya, dan Nita berangkat diantar orangtua dan pulang naik angkutan umum.
”Saya nabung tiap bulan Rp 100.000, sekarang sudah terkumpul Rp 1,8 juta. Uang itu mau saya pakai untuk membayar study tour bulan Desember nanti, Rp 1,8 juta,” kata Twena.
Mereka mengaku agak susah menabung karena godaan untuk membeli barang atau jalan-jalan ke mal sangat kuat.
Siswa kelas XI SMA Negeri 6 Jakarta, Nur Aji Luthfi Prakoso, mendapat uang saku tidak terlalu besar, Rp 10.000 per hari. Ia biasa diberi uang saku mingguan Rp 50.000.
”Saya cuma bayar angkutan pergi-pulang Rp 2.000. Jadi saya masih bisa nabung. Sempat nabung sampai Rp 900.000 buat beli pulsa telepon dan nambahin beli Blackberry,” kata Aji.
Remaja ikut-ikutan teman main ke mal atau berbelanja benda konsumtif, menurut psikolog Tika Bisono, adalah sesuatu yang wajar karena mereka hidup dalam perspektif peer group.
”Buat anak-anak yang kreatif, mereka akan jadi pemimpin dalam grup, menjadi rujukan buat anak-anak yang relatif pasif dan tak kreatif. Mereka yang pasif ini akan sangat terbantu,” kata Tika.
Percampuran model kepribadian, sifat, dan karakter ini, menurut Tika, akan menguntungkan pertumbuhan psikologis karena remaja sangat berkepentingan untuk diakui dan diterima kelompoknya.
Bagaimana remaja mengelola uangnya, mereka bisa mencontoh bagaimana orangtua masing-masing mengelola uang. Jika orangtua mengajarkan berhemat, sebaiknya remaja juga melakukan penghematan karena mencari uang itu tak mudah.
Berapa besar uang saku yang ideal buat remaja tentunya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing. Itu juga yang dikemukakan perencana keuangan Safir Senduk.
”Remaja perlu belajar bagaimana mengelola uang, mereka harus bisa mempertanggungjawabkan ke mana uangnya digunakan,” katanya.
Hal yang harus dilatih para remaja adalah bagaimana membangun kemampuan nalar dan logika, bagaimana mengambil keputusan yang tepat.
”Kalau mereka bisa mengambil keputusan sendiri, itu tentu lebih bagus dibandingkan disuruh orangtua karena keputusannya tak akan matang. Kalau remaja sudah bisa memutuskan sendiri, tidak ikut-ikutan teman, itu namanya punya kecerdasan intrapersonal. Tidak masalah bergaul dengan siapa pun kalau dia sudah memiliki kecerdasan intrapersonal,” kata Tika.
Bagi Safir Senduk, remaja SMA yang memiliki uang saku bisa disebut sudah berpenghasilan. Namun, karena penghasilan mereka dapatkan bukan dari bekerja, tak heran jika remaja usia SMA begitu mudah membelanjakan uangnya.
”Jika mereka mendapatkan penghasilan dari bekerja, entah dengan menulis atau bekerja sampingan, tentu mereka lebih menghargai uang yang didapatkan dengan susah payah,” kata Safir.
Remaja pun sudah sewajarnya belajar mengelola uang saku. Dan, uang saku sebaiknya diberikan secara bulanan supaya mereka langsung praktik bagaimana mengelola uang itu agar cukup untuk keperluan selama sebulan.
”Remaja SMA nantinya juga akan bekerja, mendapat gaji bulanan, jadi mulai sekarang mereka harus belajar mengelola uang saku bulanan,” tambah Safir.
Untuk pengeluaran, menurut dia, bisa dipilah menjadi tiga, yakni pengeluaran karena wajib, butuh, dan ingin.
Pengeluaran wajib adalah pengeluaran yang harus dibayarkan. Maka, jika tidak dibayar akan ada konsekuensi, misalnya membayar cicilan utang.
Pengeluaran karena butuh adalah pengeluaran yang harus dibayarkan. Namun, jika tidak dibayar, tidak ada konsekuensi, misalnya membeli pulsa telepon.
Sedangkan pengeluaran karena ingin adalah segala pos pengeluaran yang kita bayarkan karena ingin, semisal membeli T-shirt di distro.
”Nah, para remaja harus tahu betul pengeluarannya itu termasuk pengeluaran apa? Wajib, butuh, atau ingin?” kata Safir Senduk.
Jika remaja menghargai uang, tentu mereka tidak akan dengan mudah menghabiskan uangnya. Bahkan mereka bisa menabung dan berinvestasi.
”Menabung itu menyisihkan uang untuk mencapai tujuan di masa datang, misalnya membeli sesuatu. Kalau berinvestasi itu berarti memperbesar aset yang kita miliki tanpa goal atau tujuan,” kata Safir Senduk.
Meskipun uang saku yang dimiliki tidak besar, para remaja sebenarnya juga bisa berinvestasi, misalnya dengan membeli ORI (Obligasi Ritel Indonesia) atau reksadana.
”Manajer investasi yang akan memutar uang kita. Reksadana bisa kita beli dengan dana sekitar Rp 100.000-Rp 200.000. Sayang sekali kalau uang kita dihabiskan. Kalau membeli sesuatu karena ikut-ikutan teman, itu artinya dia tidak bisa memimpin dirinya sendiri. Jadilah orang yang bisa memimpin diri sendiri,” saran Safir Senduk. (LOK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar